Ahli Hukum: Sengketa Lahan JK vs Lippo Cerminkan Buruknya Tata Kelola Agraria

Dr. Herman, S.H., M.H - (ist)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar — Sengketa lahan antara HM Jusuf Kalla (JK) dengan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) yang terafiliasi dengan Lippo Group kembali menjadi sorotan publik. Ahli Hukum Universitas Negeri Makassar (UNM), Dr. Herman, menilai kasus ini mencerminkan betapa tidak terorganisirnya kebijakan pertanahan di Indonesia.

Menurutnya, akar persoalan sengketa lahan semacam ini tidak hanya disebabkan oleh konflik kepemilikan, tetapi juga lemahnya sistem hukum agraria di Indonesia.

“Kebijakan pertanahan kita memang sedang tidak bagus. Pengaturan antar lembaga tidak harmonis dan tidak tersistematis, sehingga satu objek lahan bisa memiliki lebih dari satu sertifikat,” ujar Dr. Herman kepada wartawan di Makassar, Jumat (7/11/2025).

Ia menjelaskan, tumpang tindih sertifikat dan lemahnya koordinasi antar instansi membuka ruang bagi konflik agraria meluas. Bahkan, menurutnya, kasus di Tanjung Bunga hanyalah contoh kecil dari persoalan agraria yang lebih kompleks di Indonesia.

“Konflik terbesar di Indonesia itu konflik agraria, terutama tanah. Ini karena kebijakan-kebijakan pertanahan yang tidak terorganisir dengan baik,” tegasnya.

Lebih lanjut, Dr. Herman menyoroti peran Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang semestinya tidak sekadar memberikan pernyataan, tetapi juga mengoptimalkan Satgas Mafia Tanah yang dimiliki lembaga tersebut.

“Di ATR/BPN itu ada Satgas Mafia Tanah. Jadi kalau memang ingin menegakkan hukum, seharusnya Satgas itu yang turun, bukan hanya sekadar pernyataan siapa yang punya sertifikat,” jelasnya.

Ia juga menegaskan, jika benar tidak ada putusan hukum tetap (inkracht van gewisjde) namun ada eksekusi di lapangan, maka hal itu perlu ditelusuri karena bisa saja ada makelar kasus yang bermain di pengadilan.

“Kalau tiba-tiba ada eksekusi tanpa ada putusan hukum yang inkracht, itu tanda tanya besar. Bisa jadi ada makelar kasus di baliknya,” ungkap Dr. Herman.

Menurutnya, dugaan “permainan mafia tanah” yang disampaikan Jusuf Kalla bukan tanpa dasar. Ia menilai praktik penguasaan lahan oleh pihak bermodal besar melalui perantara atau preman masih sering terjadi di Indonesia.

“Apa yang dikatakan Pak Jusuf Kalla itu fakta. Sengketa tanah memang sering disusupi makelar kasus. Ada yang tiba-tiba menguasai lahan walau sertifikatnya sah milik orang lain,”ungkapnya.

Sebagai solusi, Arifuddin menyarankan agar pihak-pihak yang bersengketa menempuh jalur hukum perdata atau musyawarah mufakat.

“Kalau benar PT Hadji Kalla memegang sertifikat HGB yang sah, maka langkah hukumnya adalah menggugat secara resmi di pengadilan, atau menyelesaikannya lewat musyawarah win-win solution,” tutupnya.

Laporan: Rifki