KOLOM ANDI SURUJI: Hewan Kurban dan Matinya Ilmu Ekonomi

. Senin, 26 Mei 2025 13:35
Penjual hewan kurban Jalan Tun Abdul Razak Gowa - (foto by dok Celebesmedia.id)

KITA pinjam dulu judul buku Prof Paul Ormerod, The Dead of Economics, Matinya Ilmu Ekonomi. Teori ekonomi tidak lagi linier dengan fakta situasi dan kondisi tertentu dalam suatu perekonomian.

Ilmu ekonomi tua mengajarkan, harga ditentukan oleh dua faktor. Yaitu penawaran atau suplai (supply) dan permintaan (demand). Titik ketemunya penawaran dan permintaan membentuk harga.

Suatu barang, jika permintaannya melonjak sementara suplai barangnya tidak memenuhi jumlah permintaan, maka harga bergerak naik melambung tinggi.

Sebaliknya, jika suplai barang berlebihan dibanding kebutuhan atau permintaan, maka harganya turun.

Itu teorinya. Tribun Timur melaporkan, Sulsel surplus hewan kurban. Kebutuhan hewan kurban tahun ini, diperkirakan hanya 48.701 ekor. Sementara hewan yang tersedia 136.817 ekor. Ada kelebihan hampir dua kali lipat kebutuhan.

Secara teori ekonomi, harga hewan (sapi) kurban mustinya turun karena over supply secara signifikan. Tetapi faktanya, harga justru naik rata-rata hampir 10 persen di pasar hewan kurban Makassar.

Membaca berita Tribun Timur, sepertinya benar teori Prof Paul Ormerod. Matinya ilmu ekonomi dalam konteks di atas, banyak terjadi dalam bidang lain. Ketika jelang lebaran Idul Fitri misalnya, asisten rumah tangga pada mudik. 

Terjadi kelangkaan tenaga kerja rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga tidak ada yang kerjakan.

Ramai-ramailah kaum emak-emak mencari  pembantu pengganti (infal) untuk sementara. Suplai dan kebutuhan kritis. Krisis pun terjadi di pasar tenaga kerja pembantu infal. 

Anehnya, harga, tarif, atau gaji mereka tidak naik signifikan. Padahal tenaga mereka sangat dibutuhkan. Harga jasa mereka mustinya naik signifikan pula.

Meski demikian, berkurban bagi umat muslim, bukan persoalan harga atau ilmu ekonomi. Berkurban adalah soal keyakinan religiositas. 

Harga tidak soal bagi umat. Tetapi secara keseluruhan akan mengatrol naik inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat secara umum.

Dalam konteks ini, pemerintah daerah jangan bangga daerahnya bisa surplus hewan kurban karena sifatnya musiman. Kondisi itu justru bisa jadi bumerang, bencana bagi peternak. Melemahkan nilai tukar peternak. 

Pasalnya, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk memelihara hewannya. Harapannya, Idul Qurban adalah masa panen raya. Tetapi karena surplus suplai berlebihan, pasar lokal menjadi ketat. Ancaman kerugian menganga di depan mereka.

Di tahap dan titik kritis inilah perlunya Dinas Peternakan memiliki data base yang kuat. Pediksi suplai dan permintaan akurat, jauh hari sebelum tiba masa panen raya. 

Perlu pula memiliki informasi pasar yang akurat. Daerah mana yang kekurangan suplai, dan berapa kebutuhannya. Daerah yang surplus dapat bekerja sama dengan daerah yang kekurangan pasokan hewan.

Bukan hanya musiman semisal Idul Qurban. Tetapi sepanjang tahun dan berkelanjutan. Informasi pasar terkait suplai dan permintaan tersedia secara akurat setiap saat.

Dukungan teknologi informasi semakin canggih dan murah. Informasi produksi dan pasar hewan dapat terakses secara mudah.

Data itu juga akan sangat berguna bagi para pedagang ternak antarpulau, pengusaha kapal dan lainnya. Ekositem bisnis ternak, termasuk di dalamnya koperasi rakyat, terbangun dan tertata dengan baik.

Dengan demikian, pasti sangat membantu peternak agar kelebihan pasokannya dapat terjual ke daerah minus suplai. Mendorong semangat peternak untuk terus beternak. 

Biaya produksi bisa tertutupi dari harga penjualan. Syukur lagi kalau indeks harga yang diterima peternak jauh melampaui indeks harga produksi yang harus dibayar. 

Itu namanya nilai tukar peternak naik, membaik. Tidak usah dulu bicara peternak sejahtera, tetapi sebisanya mereka tidak menangis, tidak rugi dan tidak membuat mereka putus harapan beternak.