KOLOM ANDI SURUJI : Sepenggal Kenangan Bersama Presiden Habibie

BJ Habibie semasa hidup - (int)

TAHUN 1998. Situasi bangsa kacau. Presiden Soeharto lengser. Wakil Presiden Habibie diambil sumpah menjadi presiden, menggantikan Soeharto.

Saya dan instri bersiap berangkat menunaikan ibadah haji. Hati pun galau mau meninggalkan anak yang masih kecil dalam situasi seperti itu.

"Bismillah... Berangkatlah.... Percayakan urusanmu kepada Allah, saja," kata ayah saya membesarkan hati, mengusir kegalauan.

Sepulang ibadah haji, kantor saya, Harian Kompas, menugaskan saya mangkal di Istana untuk meliput kegiatan kepresidenan. Saya pindah tugas dari reporter Desk Ekonomi dan Keuangan menjadi wartawan Istana.

Sebelumnya sudah ada dua wartawan Kompas yang bertugas di Istana, yaitu J Osdar dan Rien Kuntari. Saya heran, ini cuma Presiden tanpa wakil, malah jumlah wartawan ditambah. Sewaktu Presiden Soeharto dan ada wakilnya, wartawannya cuma dua.

"Andi, fokus pada berita-berita ekonomi dan keuangan..." ujar Pelaksana Harian Pemimpin Redaksi Kompas, August Parengkuan, menjawab keheranan saya.

Wartawan Istana harus meliput kegiatan kepresidenan dengan berpakaian rapih. Selalu berdasi, kadang pakai jas, dan terlarang pakai celana jeans. 

Biasanya, dasi saya selipkan di ransel. Nanti mau masuk Istana baru dipakai. Ketika suatu saat saya memakai dasi sejak dari rumah, anak saya komentar. "Ayah kayak orang kantoran, pakai dasi pergi kerja,". 

Subhanallah, berarti selama ini mereka menganggap saya bukan orang kantoran. Boleh jadi anggapan itu diracuni sinetron yang banyak menggambarkan orang kerja itu harus berdasi.

Wartawan Istana disediakan ruang khusus di Sekretariat Negara. Setiap hari disediakan makan siang, kopi, teh juga tersedia. Peralatan kerja juga ada.

Acara kepresidenan diadakan di Istana Merdeka, atau Istana Negara. Biasa juga di Wisma Negara. Kalau sudah ada panggilan dari Protokol Istana, baru kami boleh masuk. Acara juga ditentukan Protokol yang boleh diliput dan tidak.

Di deretan Wisma Negara ada Press Room. Biasa digunakan menteri atau tamu Presiden untuk jumpa pers. Wartawan juga biasa gunakan ruangan itu nongkrong kalau malas bolak balik ke Press Room Setneg.

Pak Habibie memang pekerja keras. Apalagi kondisi negara yang memerlukan penanganan ekstra keras. 

Pak Habibie kebanyakan sudah berada di kantornya, Istana Merdeka, pada pukul 08 pagi. Terkadang baru pulang setelah Magrib atau selepas Isya.

Menurut cerita senior-senior, (ada yang sudah tiga presiden yaitu Soekarno, Soeharto, dan Habibie ditugaskan di Istana), Pak Harto kebanyakan datang pukul 10 pagi dan bersiap pulang pukul 14 siang. Tapi waktu awal-awal Pak Harto juga biasa sampai malam.

Ada satu kebiasaan Pak Habibie kalau ada acara di Istana. Ia sering berjalan menyapa tamu-tamu kalau acara menghadirkan banyak tamu. Pada saat seperti itu, Pak Habibie selalu menyempatkan diri lewat di depan kerumunan wartawan.

Kadang ia sekadar menyapa dan melempar senyum, sembari berlalu. Tidak jarang juga ikut bergabung di kerumunan wartawan. 

Sering pula berita bagus kami dapatkan dalam situasi seperti itu. Kadang sekadar bercanda. Pak Habibie tidak selalu serius.

Karena Pak Habibie sering pulang petang, kami wartawan Istana juga sering mengikuti irama kerjanya. Kami nongkrong menunggu di press room istana.

Pak Habibie selalu keluar lewat pintu masuk yang di tengah Istana. Kalau mobil mercy sedan hitam RI 1 sudah standby di depan tangga, dan mobil Paspampres berjejer di depannya serta ambulans dan mobil rangkaian protokoler, berarti Pak Habibie sudah siap pulang.

Kami wartawan biasanya keluar dari Press Room untuk "melepas" Pak Habibie. "Kok belum pulang dik...?" Itu kalimat favoritnya menyapa kami.

"Nunggu Bapak pulang dulu,"

"Oke, duluan ya..." ujarnya. Ia selalu melambaikan tangan dan melempari kami senyum. 

Sesekali pula Pak Habibie memberi kode kalau wartawan boleh mendekatinya. Kadang kami cuma bersalaman. Sering pula Pak Habibie ngobrol sejenak, sebelum naik sedan Mercy Tiger-nya. Padahal ada mobil baru yang selalu ikut bersama mobil yang dinaiki itu.

Secara pribadi, saya merasa lelah kerja seharian di Istana, menunggu agenda belasan rapat, puluhan tamu, terhapus seketika dengan sekadar lambaian dan senyum Pak Habibie di akhir hari kerja. Padahal urusan negara tentulah sangat berat di pundak Habibie.

Tersenyumlah lagi Bapak. Dunia melepasmu bersama segudang prestasimu yang tak ternilai dengan uang untuk bangsa yamg engkau cintai. Dan tersenyumlah bertemu dengan belahan jiwamu, Ibu Ainun, perempuan hebat yang amat engkau cintai pula.

Selamat Jalan Pak Habibie.....!