Apa Itu Tradisi Sekaten? Ketahui Sejarah dan Prosesi Perayaan

Tradisi Sekaten, Ketahui Sejarah dan Prosesi Perayaan (foto: wikipedia.org)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Sekaten adalah bagian dari warisan budaya yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga, yang pada masanya berusaha keras untuk menyebarkan agama Islam.

Upacara Sekaten diadakan setiap tahun secara berkala pada tanggal 5 hingga 11 bulan Rabi'ul Awal (yang dikenal sebagai bulan Mulud dalam kalender Jawa), dan diakhiri pada tanggal 12 Rabi'ul Awal dengan puncak perayaan Garebeg Mulud.

Tujuan dari perayaan Sekaten adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, pada masa lalu, Sekaten juga menjadi sarana untuk penyebaran agama Islam yang dipraktikkan oleh Sunan Kalijaga.

Asal usul kata "Sekaten" memiliki beberapa pendapat yang berbeda:

  1. Sekaten berasal dari kata "sekati", yang dulunya merupakan nama dari perangkat gamelan pusaka kraton yang digunakan dalam upacara perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
  2. Sekaten berasal dari gabungan kata "suka" dan "ati", yang bermakna senang hati.
  3. Sekaten berasal dari gabungan kata "sesek" dan "ati", yang bermakna sesak hati.
  4. Sekaten berasal dari dua kalimat syahadat atau "syahadatain".

Sejarah Sekaten sendiri tidak dapat dipisahkan dari upaya penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak.

Pada masa itu, mayoritas masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha.

Sunan Kalijaga memikat perhatian masyarakat dengan mengiringi lagu-lagu ciptaannya dengan alat musik gamelan.

Strategi tersebut berhasil mengumpulkan warga dan dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran agama Islam serta mengajak warga untuk mengucapkan kalimat syahadat.

Oleh karena itu, Sunan Kalijaga dikenal dengan julukan "Kyai Sekati", yang mengandung makna dari kata "Sekaten" yang berasal dari kata "syahadatain".

Prosesi Tradisi Sekaten

1. Miyos Gangsa

Prosesi Miyos Gangsa adalah tahap di mana gamelan istana yang dikenal sebagai Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari Keraton.

Mulai pukul 15.00 hingga 23.00, gamelan dimainkan. Pada pukul 20.00, utusan kerajaan membagikan udhik-udhik, seperti bunga, uang logam, beras, dan biji-bijian kepada masyarakat dan Abdi Dalem di Bangsal Pancaniti dan Plataran Kamandhungan Lor. Udhik-udhik adalah lambang sedekah raja kepada rakyatnya.

Pukul 23.00, kedua gamelan dibawa ke Masjid Gedhe dan terus dimainkan selama 6 hari berturut-turut, kecuali selama waktu sholat dan malam Jumat.

2. Numplak Wajik

Prosesi numplak wajik dilakukan 3 hari sebelum Garebeg atau 9 Mulud, pukul 15.40.

Dipimpin oleh putri tertua sultan atau saudara perempuan lainnya, wajik ditempatkan di bagian tengah Gunungan Wadon.

Saat Numplak Wajik, acara Gladhi Prajurit juga diadakan, diikuti oleh kesepuluh bregada prajurit keraton yang akan mengawal gunungan saat Garebeg Mulud.

Anggota bregada hanya mengenakan pakaian peranakan sambil membawa atribut sesuai dengan bregada mereka.

3. Kondur Gangsa

Prosesi ini dilakukan pada tanggal 11 Maulud, pukul 23.00, dengan mengembalikan gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga ke keraton. Dikawal oleh prajurit Mantrijero dan prajurit Ketanggung.

Sebelum prosesi Kondur Gangsa, Sri Sultan menghadiri upacara maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Gede, di mana Sultan mengenakan simping mlathi di telinga kiri sebagai simbol bahwa aspirasi rakyat akan didengarkan oleh raja.

4. Garebeg

Pada tanggal 12 Rabiul pagi, Keraton menggelar Hajad Dalem dengan membagikan 3 Gunungan Kakung, 1 Gunungan Estri, 1 Gunungan Darat, 1 Gunungan Gepak, dan 1 Gunungan Pawuhan ke Pura Pakulaman, Kepatihan, dan Masjid Gedhe. Prosesi pembagian gunungan dilakukan pukul 11.00 dengan pengawalan Bregada Prajurit.

5. Bedhol Songsong

Di Bangsal Pagelaran Keraton Jogja, pada malam tanggal 12 Rabiul, pukul 20.00, digelar Bedhol Songsong, berisi pertunjukan wayang sepanjang malam.

Pada sore hari tanggal 12 Rabiul, songsong atau payung agung yang dipasang selama Sekaten dibedhol dari Plataran Pagelaran untuk dibawa masuk kembali ke dalam keraton.***