Apa itu Dissenting Opinion dari Hakim MK dalam Putusan Sengketa Pilpres?

Apa itu Dissenting Opinion dari Hakim MK (foto: freepik.com/author/wirestock)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Pada Senin 22 April, Mahkamah Konstitusi mengumumkan hasil dari sengketa atas hasil pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Meskipun demikian, 3 hakim MK, yaitu Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyampaikan pendapat yang berbeda atau dissenting opinion.

Apa sebenarnya dissenting opinion dan tujuan dari mekanisme hukum MK tersebut?

Menurut Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda secara substansif dan menghasilkan amar yang berbeda.

Misalnya, ketika mayoritas hakim menolak suatu permohonan, tetapi ada hakim minoritas yang mengabulkannya, atau sebaliknya.

Ada juga konsep lain yang disebut concurrent opinion. Suatu putusan dikatakan concurrent opinion jika terdapat argumentasi yang berbeda dengan mayoritas hakim tetapi tidak berdampak pada perbedaan amar putusan.

MK membedakan kedua jenis putusan tersebut dengan menggunakan frasa "alasan berbeda" untuk concurrent opinion dan "pendapat berbeda" untuk dissenting opinion.

Dissenting opinion adalah salah satu terminologi dalam sistem hukum Anglo-Saxon seperti Amerika dan Kerajaan Inggris, yang memungkinkan keragaman sudut pandang di lembaga pengadilan.

Meskipun di negara-negara penganut sistem Eropa kontinental, dissenting opinion tidak dikenal, perkembangan zaman dan hukum telah memperkenalkannya dalam praktik peradilan, termasuk di Indonesia.

Awalnya, dissenting opinion tidak memiliki landasan yuridis formal di Indonesia.

Namun, pada tahun 1998, mekanisme hukum ini diakui dalam Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998.

Pada perkembangannya, dissenting opinion tidak hanya berlaku dalam pengadilan niaga tetapi juga dalam pengadilan lainnya, termasuk MK.

Dissenting opinion menandai perubahan signifikan dalam proses hukum di Indonesia.

Tujuan dari pengenalan dissenting opinion adalah untuk meningkatkan transparansi dalam pengadilan, mengembangkan pendidikan hukum.

Selain itu juga memberikan kebebasan kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara, serta memastikan jaminan hak berbeda pendapat setiap hakim.***