KOLOM ANDI SURUJI : BWM, dari Umat untuk Umat

Pada hari di bulan suci Ramadan itu, secara resmi berdiri
dan beroperasi lembaga keuangan mikro syariah, yakni Bank Wakaf Mikro Ummul
Mikminin Aisyiyah, di Makassar, yang merupakan Bank Wakaf Mikro pertama di
Sulawesi Selatan.
Ketua Komisoner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso,
bersama Wakil Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaeman, menggunting pita
simbolisasi peresmian bank "wong cilik" itu. Diiringi tabuhan gendang
"tunrung pakanjara".
Semoga pengguntingan pita itu bermakna terguntingnya
ketimpangan dan lingkaran setan kemiskinan yang melilit dan membelit warga
negara yang selama ini masih menghadapi kebuntuan akses keuangan.
Wimboh mengungkapkan, program BWM itu sejatinya adalah upaya
dari umat (para filantropis) untuk umat, masyarakat kecil yang tidak memiliki
jaminan untuk mengakses keuangan).
OJK di sini hanya berperan sebagai fasilitator. Melalui
program bank wakaf mikro ini tentu diharapkan dapat mengangkat derajat dan
kualitas hidup masyarakat mikro kecil yang membutuhkan mofal untuk memulai usaha/meningkatkan
skala usahanya
OJK sejatinya memang bukanlah regulator jasa keuangan semata
di negeri ini. OJK hadir juga untuk memberikan manfaat bagi masyarakat melalui
penyediaan akses keuangan bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses bank
karena tidak punya jaminan dan seringkali terjerat rentenir/tengkulak.
OJK pun berkepentingan mendorong literasi dan inklusi, serta
membuka akses keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk nasabah dan
calon nasabah mikro.
Oleh karena itu OJK menginisiasi program Bank Wakaf Mikro
untuk memudahkan akses pembiayaan bagi UMKM khususnya di sekitar pondok
pesantren di Indonesia. Pemberdayaan ekonomi umat harus hadir menjadi salah
satu solusi dalam pengentasan ketimpangan dan kemiskinan.
Apa dan bagaimana Bank Wakaf Mikro ini? Ada tiga komponen
utama pendukung pendirian Bank Wakaf Mikro. Seperti adanya donatur, kesediaan
pesantren sebagai penyalur, dan ada kelompok masyarakat produktif.
Dana dari donatur akan disalurkan melalui Laznas kepada BWM.
Syaratnya, BWM tidak boleh menghimpun dana pihak ketiga.
Nah, dana yang disiapkan untuk pendirian 1 BWM akan cukup
membiayai sekitar 3.000 orang nasabah dengan pembiayaan masing-masing sebesar
Rp1 juta (sejuta rupiah). Dana akan disalurkan melalui laznas.
Biaya yang dibayarkan hanya setara biaya administrasi atau
sebesar 3% per tahun dan nasabah tidak perlu memberikan agunan/ijin
usaha.
Dengan pinjaman sejumlah Rp 1 juta, para nasabah memiliki
kewajiban untuk mengangsur hanya sekitar Rp 20.000 (dua puluh ribu rupiah) per
minggunya.
Selain itu, terdapat pemberdayaan dan pendampingan: Calon
nasabah akan mengikuti PWK (Pelatihan Wajib Kelompok), kemudian akan terpilih
satu kelompok nasabah yang telah lulus PWK dengan nama kelompok usaha
masyarakat sekitar pesantren Indonesia (KUMPI). Selanjutnya akan dibentuk
kelompok dengan nama Halaqoh Mingguan (HALMI).
Ke depan, kata Wimboh, OJK melihat potensi besar
pengembangan BWM. Jika dihitung secara matematis, bila ada 1.000 bank wakaf
mikro maka akan mampu meningkatkan hajat hidup 3 juta umat.
"Ini tentu merupakan upaya mulia untuk memberdayakan
umat supaya makin sejahtera kehidupannya di masa mendatang," katanya.
Apa yang dirintis OJK dan Aisyiyah ini, kiranya dapat
menjadi salah satu roda utama penggerak ekonomi rakyat dalam mengatasi
kemiskinan dan ketimpangan pembangunan kesejahteraan rakyat di Sulsel,
sebagaimana tercatat dalam gini ratio yang masih besar.
Rakyat kecil sudah terlalu lama menonton hiruk pikuk
keuangan yang demakin maju dan kian meninggalkan mereka yang tak punya akses
dan jaminan.(*)