KOLOM ANDI SURUJI : Menakar Duit 200 Triliun Menkeu Purbaya...

Ilustrasi Rupiah - (foto by Pixabay)

GEBRAKAN Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentak sektor keuangan. Pak Menteri baru ini bilang akan menarik dana pemerintah dari Bank Sentral sebanyak 200 triliun rupiah.

Dana itu selanjutnya akan ditempatkan ke bank-bank pemerintah, untuk disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha. Supaya lebih produktif, memutar roda perekonomian lebih cepat lagi.

Semula banyak orang apriori. Ini menteri asal bunyi. Bukankah pemerintah kesulitan keuangan. Proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) aja ngos-ngosan dananya. 

Transfer Keuangan Daerah (TKD) dipangkas. Berbagai proyek berbiaya APBN dievaluasi dan direvisi. 

Itu semua membuat masyarakat berasumsi pemerintah kesulitan keuangan. Ternyata banyak dana pemerintah diparkir di bank sentral.

Sewaktu masih Redaktur Ekonomi Kompas, saya banyak berinteraksi dengan Purbaya. Membaca dan mengedit tulisannya sebelum dimuat di Kompas. Belasan tahun silam. 

Sudah lama saya tidak berkomunikasi dengannya. Tetapi saya yakin keputusannya pasti didasari riset yang mendalam. Ia peneliti dan periset pada Danareksa Research Institute. Mikir, bicara dan bertindak pasti didasari data. Bukan seperti kebanyakan orang, yang bicara dulu baru mikir.

Memang begitu gayanya. Bicara maupun tulisannya. Apa adanya, tapi berbasis data. Bukan hanya data sesaat tapi data yang punya historikalnya.

Tidak butuh waktu lama. Menkeu yang dinilai bergaya "selengean" dan berbicara enteng ini mengeksekusi apa yang diucapkannya. "Biar direksi bank-bank itu mikir, kerja," kata Purbaya.

Timbul pertanyaan. Apakah perbankan kekurangan likuiditas untuk dikonversi menjadi kredit, sehingga Menkeu menggelontorkan dananya ke perbankan?

Sebenarnya tidak juga. Selain memperkuat likuiditas perbankan, tujuannya juga supaya memacu perbankan untuk bergerak lebih aktif dan dinamis. 

Tidak duduk manis menikmati spead bunga antara kredit dan simpanan masyarakat yang biasa disebut DPK (dana pihak ketiga). Bisa jadi juga langkah itu untuk memacu bank menekan suku bunga pinjaman (kredit). 

Ada benarnya. Dunia usaha suka bunga kredit yang rendah. Setidaknya rasional. Tetapi, suku bunga kredit perbankan dinilai masih tinggi. Ini juga salah satu kesimpulan Bank Sentral, mengapa penyaluran kredit dianggap belum kuat mendorong akselerasi perekonomian lebih cepat.

Bank Indonesia mencatat ada Rp 2.372 triliun kredit yang sudah disetujui perbankan nasional, namun belum dicairkan oleh debitor (pemohon kredit).

Data tersebut diperoleh CELEBESMEDIA.ID dari laporan bulanan Bank Sentral sebagai dokumen publikasi hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Sentral pada 16-17 September 2025.

Kredit yang sudah disetujui antara perbankan (kreditor) dan pemohon kredit (debitor) namun belum dicairkan disebut undisbursed loan.

Jumlah kredit yang belum digunakan tersebut ekuivalen dengan 22,71% dari plafon kredit yang tersedia. Rupanya rasio itu meningkat dibanding tahun sebelumnya.

Rasio undisbursed loan terbesar terutama pada sektor industri, pertambangan, jasa dunia usaha, dan perdagangan, dengan jenis kredit modal kerja.

"Pertumbuhan kredit perbankan perlu terus didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.

BI menilai kredit perbankan pada Agustus 2025 belum kuat, meskipun meningkat dari Juli 2025 sebesar 7,03% (yoy) menjadi 7,56% (yoy) pada Agustus 2025.

Dari sisi permintaan, belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha (wait and see) terhadap situasi dan kondisi internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi kondisi dunia usaha.

Suku bunga kredit juga yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya. Kondisi inilah mengakibatkan fasilitas pinjaman yang belum dicairkan masih cukup besar.

Dari sisi penawaran, kenaikan kredit didukung oleh longgarnya likuiditas perbankan sebagaimana tecermin dari tingginya Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 27,25% pada Agustus 2025.

Kalau begitu, apakah suntikan dana perbankan 200 triliun rupiah itu otomatis menjadi pelumas roda-roda dunia usaha yang mulai berkarat dan mengakselerasi laju perekonomian? Tidak.

Undisburse loan mungkin komitmen kredit perusahaan besar yang belum dicairkan. Jika gebrakan Menkeu mengarah pada usaha menengah ke bawah sektor riil produktif, apalagi jika suku bunga lebih rendah, ada harapan manambah akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Pada sisi lain sektor riil harus menjaga, bahkan menggenjot produksi dan distribusi. Jangan ada komoditas yang langka dan bergejolak harganya. Birokrasi jangan berbelit. Prosedural oke, tetapi jangan disertai cincai di balik prosedural.

Contoh terbaik beras. Bangga stok mencatat rekor, tetapi harga bergejolak. Kasus seperti ini memicu inflasi.

Kalau inflasi memanas, dipanasi lagi kasus-kasus politik dan keamanan yang bereskalasi, kurs rupiah bisa bergejolak. 

Kalau itu terjadi, Bank Sentral tentu memakai instrumen moneter untuk mengendalikan inflasi dan gejolak kurs rupiah. Supaya nilai aset dan daya beli masyarakat tidak tergerus dibakar inflasi.

Dalam kondisi itu, jangan harap suku bunga turun. Padahal dunia usaha menantikan suku bunga yang lebih rasional untuk memacu bisnis dan investasi. Itu kunci pertumbuhan ekonomi.