Dolar AS Tembus Rp16.935 di Makassar, Ekspor Sulsel Untung

Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr Sutardjo Tui - (foto by Rifki)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan. Berdasarkan data dari DolarAsia, kurs dolar di Kota Makassar pada Jumat sore (26/9/2025) menyentuh angka Rp16.935 per USD, melonjak dari pekan lalu yang masih berada di kisaran Rp16.500-an.

Kondisi ini bukan tanpa sebab Sutardjo Tui, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Makassar, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah ini dipicu oleh kombinasi faktor global dan domestik.

“Pembayaran utang pokok dan bunga kita sekitar Rp1.800 triliun dilakukan pakai dolar. Semakin tinggi permintaan dolar, makin naik pula harganya. Kita juga impor BBM setiap hari, dan itu dibayar pakai dolar,” ujar Sutardjo saat ditemui CelebesMedia.id, Jumat (26/9).

Ia juga menyoroti dampak suku bunga terhadap aliran dana masyarakat.

“Orang yang punya uang tak mau simpan di tabungan. Dia akan lari ke dolar, saham, atau emas. Permintaan bertambah lagi,” tambahnya.

Di sisi lain, situasi geopolitik dunia seperti ketegangan di Timur Tengah turut memperburuk fluktuasi mata uang, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Meski terlihat mengkhawatirkan di permukaan, menurut Sutardjo, kondisi ini justru menguntungkan wilayah-wilayah penghasil komoditas ekspor, termasuk Sulawesi Selatan.

“Bagi masyarakat Sulsel ini positif. Cokelat, kopi, ikan, udang, itu semua ekspor. Dengan dolar naik, penerimaan rupiah lebih besar,” jelasnya.

Dengan harga dolar yang tinggi, eksportir lokal mendapatkan nilai tukar lebih besar dalam rupiah.sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi daerah berbasis ekspor, terutama di kawasan Indonesia Timur.

Sebaliknya, daerah yang bergantung pada impor, seperti banyak wilayah di Pulau Jawa, akan terkena dampak negatif.

“Harga rumah dan barang-barang yang menggunakan impor bisa naik,” jelas Sutardjo, merujuk pada bahan bangunan seperti besi dan material lain yang banyak diimpor dari luar negeri.

Untuk menahan laju pelemahan rupiah, Sutardjo memberikan sejumlah rekomendasi strategis.

“Pertama kurangi utang. Jangan berutang terus. Kedua, subsidi BBM dikurangi. Kita impor BBM tapi kita subsidi, harganya mahal, kita jual murah ke konsumen. Itu membebani devisa,” tegasnya.

Selain itu, ia menyarankan agar masyarakat dan pemerintah mulai lebih efisien dalam konsumsi energi, serta memperkuat langkah-langkah intervensi dari Bank Indonesia.

“BI punya cadangan dolar yang bisa dilepas untuk menekan harga dolar, tapi itu juga mengambil devisa,” tambahnya.

Meski nilai tukar rupiah terhadap dolar masih menunjukkan tren pelemahan dalam jangka pendek, daerah seperti Sulsel justru bisa mengambil peluang untuk memperkuat ekonomi berbasis ekspor.

“Situasi ini bisa jadi momentum bagi daerah-daerah penghasil komoditas ekspor untuk tumbuh lebih kuat. Tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkannya,” tutup Sutardjo.

Laporan: Rifki