RESENSI: Jalangkote Rasa Keju, Film Humoris dan Humanis

FILM Jalangkote Rasa Keju (JRK) mengangkat potret kehidupan
keseharian masyarakat penghuni lorong di Makassar. Aneka macam perilaku, suka
dan duka, penuh warna dan rasa, bercampur aduk dalam ruang yang sempit.
Tak ubahnya sebuah orkestrasi yang melantunkan syair dan
mengalunkan nada kehidupan masyarakat kelas bawah. Ada instrumen yang
bernada sumbang, tetapi pemain lain tak pusing dan memaklumi.
The show must go on. Pertunjukan berlanjut. Hidup pun terus
bergulir seiring pergantian siang dan malam.
Tokoh utama, Adi dan Sukri (dua seniman komedian populer di
Makassar) adalah dua orang yang bersahabat dan bertetangga sejak lama. Mereka
sudah seperti saudara.
Kisah perjalanan hidup mereka pun sering kali mirip.
Padahal, nasib orang bersaudara sekalipun kebanyakan tidak mirip, bahkan kerap
kali beda jauh.
Ketika Adi dipecat dari pekerjaannya, Sukri pun mengalami
hal yang sama. Hingga mereka berdua bangkit, sama-sama melamar pekerjaan yang
sesuai minatnya.
Namun hal itu rupanya sangat sulit, tidak semudah yang
dibayangkan. Belum lagi beban moral sebagai kepala keluarga, membuat keduanya
semakin pusing.
Seperti kata Sukri yang memang berbadan besar dan berambut
gondrong berwajah sangar, bahkan menjadi preman saja orang sudah tidak
takut.
Persahabatan Adi dan Sukri tak menurun kepada anak mereka.
Dika dan Eci lebih sering bertengkar, alih-alih bersahabat akrab. Keduanya
mengaku sebagai rival karena berjualan jalangkote di lorong yang sama.
Belum lagi, benih-benih cinta monyet menghiasi hubungan
mereka yang tidak bisa dibilang baik.
Di samping keluarga Adi dan Sukri, ada juga kehidupan lain
yang tidak kalah serunya di lorong mereka. Ada kisah anak-anak kos putri yang
nyeleneh dan jatuh cinta pada seorang pengantar air galon.
Ada pula kisah cinta antara Aira dan Ellang, pemuda polos
dari daerah bersama kedua temannya, Doyok dan Jarot yang merupakan “pekerja
lepas” di pelabuhan.
Semuanya berkumpul menceritakan kisahnya masing-masing
tentang persahabatan, cinta, tragedi, dan tawa. Bercampur baur di dalam satu
Lorong, seperti jalangkote yang memiliki bermacam isi.
Jalangkote sebagai makanan merupakan penganan khas Makassar.
Lezat dan gurih. Disukai bukan hanya orang lokal tetapi juga orang luar
kota.
Dan, jalankote sebagai film karya anak-anak Makassar, berisi
tentang kisah-kisah kehidupan anak manusia yang universal, tragis, humoris,
sekaligus humanis.
Pecahan-pecahan film pendek yang telah mendapat respon
positif melalui media sosial itu, kemudian dihimpun menjadi film panjang yang
bercerita lebih komprehensif tentang kehidupan lorong, semoga mendapat ruang
apresiasi yang baik di masyarakat kelak.(*)