RESENSI: Jalangkote Rasa Keju, Film Humoris dan Humanis

. Selasa, 26 November 2019 19:49
Dua pemeran Jalankote Rasa Keju, Adi dan Sukri / foto: handover

FILM Jalangkote Rasa Keju (JRK) mengangkat potret kehidupan keseharian masyarakat penghuni lorong di Makassar. Aneka macam perilaku, suka dan duka, penuh warna dan rasa, bercampur aduk dalam ruang yang sempit.

Tak ubahnya sebuah orkestrasi yang melantunkan syair dan mengalunkan  nada kehidupan masyarakat kelas bawah. Ada instrumen yang bernada sumbang, tetapi pemain lain tak pusing dan memaklumi. 

The show must go on. Pertunjukan berlanjut. Hidup pun terus bergulir seiring pergantian siang dan malam.

Tokoh utama, Adi dan Sukri (dua seniman komedian populer di Makassar) adalah dua orang yang bersahabat dan bertetangga sejak lama. Mereka sudah seperti saudara. 

Kisah perjalanan hidup mereka pun sering kali mirip. Padahal, nasib orang bersaudara sekalipun kebanyakan tidak mirip, bahkan kerap kali beda jauh. 

Ketika Adi dipecat dari pekerjaannya, Sukri pun mengalami hal yang sama. Hingga mereka berdua bangkit, sama-sama melamar pekerjaan yang sesuai minatnya. 

Namun hal itu rupanya sangat sulit, tidak semudah yang dibayangkan. Belum lagi beban moral sebagai kepala keluarga, membuat keduanya semakin pusing. 

Seperti kata Sukri yang memang berbadan besar dan berambut gondrong berwajah sangar, bahkan menjadi preman saja orang sudah tidak takut. 

Persahabatan Adi dan Sukri tak menurun kepada anak mereka. Dika dan Eci lebih sering bertengkar, alih-alih bersahabat akrab. Keduanya mengaku sebagai rival karena berjualan jalangkote di lorong yang sama. 

Belum lagi, benih-benih cinta monyet menghiasi hubungan mereka yang tidak bisa dibilang baik.

Di samping keluarga Adi dan Sukri, ada juga kehidupan lain yang tidak kalah serunya di lorong mereka. Ada kisah anak-anak kos putri yang nyeleneh dan jatuh cinta pada seorang pengantar air galon. 

Ada pula kisah cinta antara Aira dan Ellang, pemuda polos dari daerah bersama kedua temannya, Doyok dan Jarot yang merupakan “pekerja lepas” di pelabuhan.

Semuanya berkumpul menceritakan kisahnya masing-masing tentang persahabatan, cinta, tragedi, dan tawa. Bercampur baur di dalam satu Lorong, seperti jalangkote yang memiliki bermacam isi.

Jalangkote sebagai makanan merupakan penganan khas Makassar. Lezat dan gurih. Disukai bukan hanya orang lokal tetapi juga orang luar kota. 

Dan, jalankote sebagai film karya anak-anak Makassar, berisi tentang kisah-kisah kehidupan anak manusia yang universal, tragis, humoris, sekaligus humanis.

Pecahan-pecahan film pendek yang telah mendapat respon positif melalui media sosial itu, kemudian dihimpun menjadi film panjang yang bercerita lebih komprehensif tentang kehidupan lorong, semoga mendapat ruang apresiasi yang baik di masyarakat kelak.(*)