Krisis Pangan Gaza Memburuk: 340 Anak Dirawat, 49 Meninggal Akibat Malnutrisi

CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk di tengah kelangkaan makanan yang ekstrem dan serangan udara tanpa henti. Data terbaru dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menunjukkan lonjakan jumlah korban jiwa, terutama anak-anak yang terkena dampak langsung dari kelaparan dan malnutrisi akut.
Dalam laporan resmi yang dirilis pada Rabu, 13 Agustus 2025, OCHA mencatat bahwa delapan orang, termasuk tiga anak, meninggal dalam 24 jam terakhir akibat kondisi gizi buruk dan kelaparan yang memburuk di seluruh wilayah Gaza.
“Laporan-laporan seperti ini terjadi setiap hari, yang mencerminkan krisis kemanusiaan yang semakin dalam dan kebutuhan mendesak akan bantuan yang berkelanjutan,” ujar OCHA dalam pernyataan tertulisnya.
Otoritas kesehatan setempat melaporkan bahwa sejak awal 2025, lebih dari 340 anak telah menerima perawatan karena malnutrisi di lima fasilitas medis yang masih beroperasi. Hingga 5 Agustus, sebanyak 49 anak telah meninggal dunia, termasuk 39 balita yang usianya di bawah lima tahun.
Pemerintah Israel sempat meragukan kebenaran laporan tersebut. Namun, Juru Bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stephane Dujarric, membenarkan data itu dalam konferensi pers resmi.
“Kami dapat mengonfirmasi bahwa data yang disampaikan oleh otoritas kesehatan Gaza didukung oleh temuan lapangan kami,” ungkap Dujarric.
Selain kelaparan, warga Gaza juga menghadapi kondisi kehidupan yang sangat tidak layak. Menurut hasil survei OCHA terhadap 900 rumah tangga di seluruh wilayah pada Juli 2025, masyarakat kini hidup dalam tekanan psikologis yang tinggi, disertai kecemasan, depresi, dan trauma yang berkepanjangan.
“Banyak yang tinggal di tempat penampungan tidak resmi yang penuh sesak, minim ruang, dan tidak aman—terutama bagi perempuan dan anak-anak,” tulis OCHA.
Di Gaza bagian selatan, pipa air utama yang disuplai oleh Mekorot—perusahaan air milik Israel—masih dalam kondisi rusak selama hampir satu pekan, membuat warga kesulitan mengakses air bersih. Sanitasi yang buruk memperparah risiko penyakit dan memperburuk kondisi kesehatan yang sudah kritis.
Pada Selasa, 12 Agustus, sejumlah bantuan berhasil masuk melalui perlintasan Kerem Shalom/Karem Abu Salem dan Zikim, termasuk makanan dan bahan bakar. Namun, dari 15 misi kemanusiaan yang direncanakan, lebih dari setengah berhasil, sementara sisanya ditolak, dihalangi, atau dibatalkan oleh pihak berwenang Israel, menurut OCHA.
Di sisi lain, kebutuhan akan tempat perlindungan darurat menjadi sorotan utama. Banyak tenda dan terpal yang rusak akibat cuaca ekstrem dan serangan udara, tidak lagi mampu melindungi warga dari panas maupun potensi musim dingin yang akan datang.
“Banyak tenda dan terpal yang perlu diganti... Hal ini sangat mendesak di tengah pengumuman perluasan operasi militer Israel di Gaza City, yang akan menimbulkan konsekuensi bencana bagi masyarakat,” tulis OCHA dalam laporannya.
Meskipun bantuan terbatas telah masuk dan memberikan sedikit stabilisasi harga di pasar lokal, volume bantuan tersebut masih jauh dari mencukupi untuk menanggulangi kelaparan massal yang terjadi.
“Jumlah bantuan yang dapat dibawa masuk ke Gaza tidak memenuhi kebutuhan minimum bagi mereka yang kelaparan,” ujar OCHA.
Organisasi ini menekankan bahwa situasi saat ini bukan sekadar krisis sementara, melainkan bencana kemanusiaan yang memerlukan respons internasional yang mendesak dan berkelanjutan.
Sumber: Antara