Terima Kasih Pantas Buat Tim Garuda Muda

Pemain Timnas Indonesia - (foto by @pssi/instagram)

TIADA kata yang paling patut dan pantas diucapkan kecuali terima kasih kepada Timnas Sepakbola Indonesia di ajang Piala AFF 2020. Dua kata itu melebihi dari segalanya buat mereka.

Walaupun hanya sekadar kata-kata, tetapi itu sangat berarti sebagai ungkapan apresiasi terhadap perjuangannya. Tidak harus membawa pulang piala juara baru mereka menerimanya. Seperti janji rumah dan sebagainya. 

Mereka telah menunjukkan jati diri sebagai anak-anak negeri bangsa pejuang. Berdedikasi pantang menyerah melawan anak-anak Thailand yang diposisikan sebagi tim satu level di atas timnas. 

Mereka telah memberikan pelajaran dan pengalaman kepada anak-anak muda segenerasinya. Bahkan kepada generasi sebelumnya maupun sesudahnya. 

Bahwa kemenangan memang harus diperjuangkan. Harga diri wajib dipertaruhkan untuk dimenangkan bagi suatu kebanggaan dan kehormatan.

Bukan saja untuk diri sendiri dan buat tim, tetapi jauh lebih luas dan lebih tinggi derajatnya, yaitu kehormatan bangsa di fora bangsa-bangsa Asia.

Kalah telak empat gol tanpa balas di leg pertama final Piala AFF membuat banyak orang melontarkan ekspresinya. Berbagai cara melalui aneka media. Ada yang kecewa, ada yang memaklumi. 

Tidak sedikit yang seketika membuang jauh kekalahan itu. Memberi semangat, dukungan, walaupun tak terbaca oleh yang ditujukan, yaitu anak-anak Timnas. Itulah doa. Pengharapan yang tulus dalam ketentuan nasib penyelenggaraan Ilahi. 

Dalam leg kedua semalam Asnawi dan kawan-kawan tampil beda. Performanya jauh di atas dan lebih baik dari leg pertama. 

Kita menyaksikan Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan bertarung habis-habisan. Mempertahankan serbuan dan serangan pasukan negeri gajah yang tidak mengenal ampun.

Untuk menjadi juara memang sangat berat. Mereka harus mengumpulkan lima selisih gol. Angka yang nyaris tak logik. Tetapi menahan tim Thailand dengan skor 2-2 adalah kinerja yang tak buruk. Mungkin hasil maksimal. 

Di atas segalanya, hal yang patut dan pantas diapresiasi adalah cara dan semangat juang mereka meraih skor itu. Jatuh bangun, mengerahkan segala kemampuan, dan memainkan seluruh keterampilan yang dimiliki. Mereka tidak mau jadi pecundang, yang mengecewakan bangsanya. 

Secara teknik dan keterampilan, anak-anak muda itu telah menunjukkan karakter bermain sepakbola modern yang lebih baik dari generasi-generasi sebelumnya. 

Anak muda itu telah menorehkan harapan untuk merebut kembali supremasi sepakbola nasional di kancah Asia. Mengalahkan Malaysia dan Singapura adalah suatu pencapaian yang terasa magis. 

Alasannya, kedua negara itu sering dijadikan bechmark dalam segala hal. Karena itu, menghentikan langkah dan mematahkan dominasi mereka adalah "sesuatu banget".

Gagal (lagi) jadi juara? Ya, itu fakta. Tetapi mempertahankan gelar Indonesia sebagai runner-up untuk keenam kalinya saja pun adalah catatan prestasi tersendiri. Beban yang tidak enteng pula di pundak mereka. 

Tetapi itu bukanlah sikap permisif untuk pemaafan sebuah kegagalan. Gagal ya gagal saja, titik. Pertanyaannya, mampukan para pemangku kepentingan (stakeholder) sepakbola nasional berdiri di depan cermin besar pembinaan sepakbola. 

Melihat utuh bayangannya di cermin tersebut, dan menjadikan kegagalan itu sebagai evaluasi, koreksi sekaligus motivasi untuk kinerja lebih baik. Setidaknya di tingkat Asia, untuk semua level usia dan kategori kejuaraan sepakbola. 

Bukankah sepakbola Indonesia telah ada dan berkembang sejak lebih satu abad silam? Itu pernah dinyatakan dalam sebuah artikel di laman FIFA. Bahwa Macassaarche Voetbalbond (kini PSM Makassar) merupakan klub sepakbola tertua di Asia, terbentuk pada tahun 1915. Sepakbola bagian peradaban suatu bangsa.