Bela PSM Matipun Rela: Cerita Fanatisme 'Tembok Putih' Era Perserikatan
 Yosef Wijaya berfoto dengan trofi Perserikatan - (ist)
                                                                                                            Yosef Wijaya berfoto dengan trofi Perserikatan - (ist)
                                                    
                                                CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Nama Yosef Wijaya masih melekat kuat di ingatan para penggemar PSM Makassar era Perserikatan hingga kini. Sosok yang dijuluki 'Tembok Putih' ini menjadi bagian dari barisan pertahanan tangguh Pasukan Ramang sepanjang dekade 1980-an hingga pertengahan 1990-an.
Di usianya kini telah lama pensiun, Yosef tetap memendam rasa bangga sekaligus harapan besar terhadap klub kebanggaannya yang akan genap berusia 110 tahun pada 2 November mendatang.
Kenangan Juara yang Tak Terlupakan
“Yang paling berkesan tentu saja saat PSM juara,” kenang Yosef membuka percakapan saat dihubungi CELEBESMEDIA.ID.
Diketahui, Yosef memperkuat PSM selama kurang lebih 11 tahun, sejak 1983 hingga 1994. Dari sekian musim yang dilalui, musim 1992 menjadi momen yang menurutnya tak pernah terlupakan, tahun di mana PSM menjuarai kompetisi Perserikatan setelah penantian panjang 25 tahun.
Namun, di tengah euforia itu, ada sedikit penyesalan yang masih melekat. Yosef tak bisa tampil di partai final lantaran akumulasi kartu kuning di semifinal.
“Waktu itu saya tidak main di final, tapi pengganti saya, Jefri Dien, justru mencetak gol. Jadi walau ada sedihnya, tetap jadi berkah. Itu momen yang paling berkesan bagi saya,” ujarnya.
Dua tahun berselang, pada 1994, Ia kembali memperkuat PSM dan menutup kariernya di final terakhir era Perserikatan. Saat itu Pasukan Ramang harus puas menjadi runner-up usai kalah dari Persib Bandung.
“Itulah dua kompetisi yang paling berkesan di akhir karier saya,” ucapnya penuh nostalgia.
Perbedaan Generasi: Dari Fanatisme Daerah ke Era Profesional
Kini, saat menyaksikan para pemain PSM di Super League, Yosef melihat perbedaan mencolok antara generasi dahulu dan sekarang.
“Dulu kita main betul-betul karena fanatisme daerah dan kecintaan kepada sepak bola. Tidak terpikir soal cedera, tidak terpikir soal uang hadiah. Hanya ingin memperkuat daerah, membela PSM,” katanya.
Sementara pemain zaman sekarang, lanjutnya, bermain dengan orientasi profesional. Ada kontrak, asuransi, dan tanggung jawab menjaga kondisi fisik.
“Sekarang pemain sudah profesional, jadi jaga betul badannya. Kalau dulu, main tanpa mikir keselamatan. Yang penting semangat untuk daerah,” tuturnya.
Bagi Yosef, romantisme itu yang membedakan semangat perjuangan PSM masa lalu dan saat ini.
Stadion dan Pembinaan Usia Dini
Di usia 110 tahun, Yosef berharap pengurus klub dan pemerintah daerah menaruh perhatian serius pada dua hal penting yakni stadion dan regenerasi pemain lokal.
“PSM sekarang belum punya stadion di Makassar. Itu harus jadi prioritas,” tegasnya.
Ia menilai, bermain di Parepare membuat atmosfer pertandingan kehilangan keintiman dengan warga Makassar.
“Main di Makassar itu beda rasanya. Harus ada lagi stadion kebanggaan di kota sendiri.”
Selain itu, Yosef juga menyoroti hilangnya kompetisi internal yang dulu menjadi wadah lahirnya talenta lokal.
“Dulu ada kompetisi internal PSM, jadi banyak muncul pemain Makassar. Sekarang sudah tidak ada. Kalau tidak ada pembinaan usia dini, dari mana muncul bibit-bibit baru,” tambahnya.
Harapan dan Doa di HUT ke-110 PSM
Meski sudah tak lagi merumput, kepedulian Yosef terhadap PSM tetap besar. Ia mengaku prihatin dengan posisi klub yang tengah berjuang di papan bawah klasemen Super League.
“Saya berharap PSM jangan sampai terdegradasi musim ini. Mudah-mudahan pelatih baru bisa membawa perubahan,” harapnya.
Selain itu, ia menegaskan kembali pentingnya stadion baru di Makassar.
“Itu dua hal yang paling saya harapkan di ulang tahun ke-110 PSM, tetap bertahan di Liga 1 dan punya stadion kebanggaan di kota sendiri,” ucapnya.
Kehidupan Setelah Sepak Bola
Kini, Yosef Wijaya menikmati masa pensiunnya dengan tenang di Kota Parepare. Usai purna tugas di Bulog, Ia mengisi hari-harinya dengan olahraga tenis.
“Sekarang main bola kecil, bukan bola besar lagi,” katanya sambil tertawa.
Istrinya, seorang dokter gigi, juga berpraktik di Parepare. Yosef mengaku lebih sering menonton laga PSM lewat televisi ketimbang datang langsung ke stadion.
“Kalau di stadion rasanya sudah tidak bisa di keramaian. Tapi tetap saya pantau, karena PSM sudah jadi bagian hidup saya,” ujarnya.

 
                                                                                         
                                                                                         
                                                                                         
                                                                                        