Pengamat: Inflasi Tak Selalu Buruk Untuk Ekonomi

Pengamat ekonomi Sutardjo Tui (ist)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Meski sering dianggap sebagai ancaman ekonomi, inflasi ternyata tidak selalu berdampak negatif. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Sutardjo Tui, yang menilai bahwa inflasi justru bisa memberikan efek positif, selama rantai pasok (supply chain) berjalan dengan baik.

“Inflasi itu dia jelek kalau dia punya tingkat inflasinya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Tetapi inflasi yang normal-normal saja, tidak melebihi pertumbuhan ekonomi, itu yang bagus,” jelas Dr. Sutardjo kepada Celebesmedia.id, Selasa (5/8/2025).

Menurutnya, inflasi yang masih berada di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dapat mendorong aktivitas produksi. Hal ini secara tidak langsung membuka lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

“Kalau inflasi di bawah pertumbuhan ekonomi, berarti ada kenaikan harga. Kalau kenaikan harga ada, berarti produsen akan menambah dia punya produksi. Kalau jumlah produksinya dinaikkan, berarti dia butuh tenaga kerja, butuh bahan baku. Nah itu yang bisa menaikkan pendapatan masyarakat. Bisa mengurangi pengangguran, itulah inflasi yang cocok,” lanjutnya.

Merujuk data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Selatan, inflasi tahunan per Juli 2025 tercatat sebesar 3,05%, sementara pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,12%. Angka ini menunjukkan bahwa inflasi masih dalam batas wajar.

“Kalau 3,05 berarti di bawah 5,12 ya. Berarti itu wajar. Karena di bawah dari jumlah pertumbuhan ekonomi,” ujarnya menanggapi data tersebut.

Meski demikian, Sutardjo menekankan pentingnya pengawasan terhadap distribusi bahan pokok, khususnya beras, yang sering menjadi pemicu utama inflasi di Tanah Air.

“Inflasi naik karena harga beras, kan (salah satunya), pangan. Artinya apa, pemerintah seharusnya jangan menahan itu produksi, karena produksinya banyak kok, pasar tidak ada,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa stok beras yang melimpah tidak akan berdampak positif jika hanya tersimpan di gudang dan tidak masuk ke pasar.

“Kalau hukum permintaan-penawaran itu, makin besar penawaran, makin rendah harganya. Ini dia bilang produksi banyak, kenapa harganya tinggi? Berarti yang disebut dengan penawaran itu jumlah produksi yang ada di pasar. Bukan yang ada di gudang Bulog, gudang petani, atau gudangnya makelar,” jelasnya lebih lanjut.

Sutardjo juga mendesak agar instansi terkait dan Satgas Pangan lebih aktif dalam melakukan pengawasan distribusi. Menurutnya, pengawasan tidak bisa hanya dilakukan saat terjadi gejolak harga.

“Orang juga absen di kantor sehari dua kali kok, masa kita tidak bisa periksa itu monitoring-nya. Inti masalahnya harus dilakukan monitoring supaya ketahuan di mana mandeknya supply chain-nya,” katanya.

“Apakah mandek karena ditahan oleh Bulog, atau mafia, atau petani, atau penggilingan padi. Kan ada Satgas Pangan, OPD Perdagangan, itu kan yang digaji untuk periksa itu, berapa harga eceran tertinggi beras, berapa kualitas timbangannya minyak goreng. Tugasnya mereka itu, jangan hanya pada saat gaduh baru kasak-kusuk," katanya.

Sebagai penyangga utama pangan untuk kawasan timur Indonesia, Sulawesi Selatan memiliki peran strategis. Sutardjo meyakini, selama distribusi tidak terganggu, Sulsel tidak perlu khawatir menghadapi potensi inflasi hingga akhir tahun.

Laporan: Rifki