Syarat dan Cara Berniat Puasa Ramadan

Ilustrasi - foto by freepik

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Niat menjadi salah satu rukun pada pelaksanaan puasa Ramadan. Sebagaimana dalam Matan Abu Syuja dari pelajaran fikih Syafi’i, Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan,

وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ : النِّيَّةُ وَالإِمْسَاكُ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالجِمَاعِ وَتَعَمُّدِ القَيْءِ

“Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jimak), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.”

Cara berniat puasa

Melansir laman rumasyho, niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Artinya niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.

Muhammad Al-Hishni berkata,

لاَ يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ لِلْخَبَرِ، وَمَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِهَا بِلاَ خِلاَفٍ

“Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazhkan.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).

Muhammad Al-Khatib berkata,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا وَلاَ يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat.” (Al-Iqna’, 1:404).

Hukum berniat adalah wajib dan puasa Ramadan tidaklah sah kecuali dengan berniat, begitu pula puasa wajib atau puasa sunnah lainnya tidaklah sah kecuali dengan berniat. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Syarat berniat

1. At-tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Subuh.

Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar subuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshah—Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha–, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no. 2454. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini).

Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim, no. 1154 dan Abu Daud, no. 2455).

2. At-ta’yiin, yaitu menegaskan niat.

At-ta'yiin maksudnya niat puasa yang akan dilaksanakan harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah.

Jika puasa Ramadan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekadar niatan puasa mutlak. 

Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

3 At-tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya

Niat harus dilakukan setiap malamnya sebelum Subuh untuk puasa hari berikutnya. 

Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. 

Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. ( Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 340-341).