Pemeriksaan Medis Korban Perkosaan Tidak Ditanggung BPJS Kesehatan, Ini Alasannya

CELEBESMEDIA.ID, Makassar – Seorang ibu di Makassar
mengeluhkan beban biaya pemeriksaan kesehatan anak perempuannya yang merupakan
korban pemerkosaan, sebut saja namanya Mawar (17). Mawar diperkosa pamannya
sendiri hingga mengandung.
Ironisnya, Mawar adalah seorang difabel (tuna) rungu.
Awalnya ia memeriksakan kesehatan pendengaran dan kandungan di Puskesmas
Kassi-kassi kemudian dirujuk ke RS Mitra Husana Makassar berdasarkan rujukan
layanan P2TP2A. Ternyata, biaya pemeriksaan tidak ditanggung BPJS Kesehatan
meski sudah menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
"Anak saya sudah jadi korban perkosaan dan kami orang
miskin, masih juga dibebani biaya pemeriksaan kesehatan," kata sang ibu
yang enggan disebutkan namanya dalam rilis yang disebar PerDIK Sulsel, Sabtu
(12/1/2019).
Dari informasi yang diterima PerDIK Sulsel, besaran biaya
pemeriksaan yang diminta oleh pihak RS Mitra Husada yakni Obgin Rp 600.000 dan pemeriksaan
pendengaran senilai Rp 275.000.
Siti Fauziah, mewakili manajemen RS Mitra Husada Makassar,
menyampaikan bahwa pihak rumah sakit tetap akan mengenakan biaya pemeriksaan
dan pengobatan terhadap pasien rujukan yang merupakan korban perkosaan maupun
korban tindak kriminal lainnya. Itu karena BPJS tidak menanggung klaim
pembayaran pasien dengam kategori tersebut.
Siti Fauziah menjelaskan bahwa meskipun keluarga korban
mengantongi kartu KIS/BPJS, namun jika merujuk ke Peraturan Presiden Nomor 82
tahun 2018 tertanggal 18 September 2018 (tentang jaminan Kesehatan), maka
pihaknya tetap akan membebankan biaya terhadap pasien.
Perpres ini menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan akibat
tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan tindak
pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan perundang undangan merupakan
jenis manfaat yang tidak dijamin oleh BPJS (pasal 52).
Hal ini juga disampaikan Humas BPJS Cabang Makassar, Wira
Pratiwi. “Karena kalau kasus kejahatan memang ditanggung LPSK (Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban). Seperti kalau kecelakaan lalu lintas, ditanggung Jasa Raharja,
demikian juga jika kecelakaan kerja ditanggung BPJS Ketenagakerjaan,” ucapnya.
“Jadi ada beberapa kasus yang tidak ditanggung (BPJS Kesehatan) karena sudah
ada koordinasi manfaat dan koordinasi pelayanan,” tambahnya.
Kuasa hukum dan pendamping korban dari PerDIK, Fauziah Erwin,
menyesalkan aturan dan miskoordinasi yang sangat membebani dan menyulitkan
keluarga dan korban asusila.
"Anak dan keluarganya seperti sudah jatuh, dihantam
batu lagi. Seharusnya negara membantu dan menjamin semua kebutuhan korban
perkosaan dalam proses hukumnya bukan malah menyulitkan dengan aturan dan
birokrasi yang rumit, apalagi korban masih berumur anak dan merupakan keluarga
miskin penerima PKH. Siapa sebenarnya yang menanggung biaya pengobatan korban perkosaan?"
katanya.
Lebih lanjut Fauziah menilai koordinasi antara lembaga masih
buruk terkait penanganan korban perkosaan. Terbukti dari tidak
tersosialisasinya Peraturan Presiden ini kepada Puskesmas sebagai ujung tombak
layanan kesehatan serta instansi pemerintah terkait lainnya.(*)