Home > PSM

KOLOM ANDI SURUJI: Cerita PSM dan Pinisi yang Tegar Berlayar

. Selasa, 27 Mei 2025 12:10

SEBELUM jauh mengulas PSM Makassar, kita menyimak sejenak logo klub kebanggaan Bugis-Makassar ini. Ada gambar perahu pinisi di sana.

Itu warisan tak benda (intangible) budaya dan karya agung manusia Bugis-Makassar. Cerdas, visioner, dan beradab. Bukan manusia pabbambangan natolo.

Pinisi dibuat para panrita lopi sedemikian rupa, bukan untuk bertambat di dermaga pelabuhan tenang tanpa ombak. Akan tetapi dirancang untuk berlayar jauh. Lintas samudera, lautan, dan benua. 

Tangguh menghadapi tantangan, dan mengatasi dahsyatnya gelombang samudera. Seperti itu pula karakter PSM Makassar.

Ia ditakdirkan menyandang gelar juara dan memikul sejarah. Seperti pula "ayam jantan" harus terus berkokok nyaring menunjukkan jati dirinya.

Meski finis di posisi keenam klasemen akhir kompetisi musim 2024-2025, Pasukan Ramang tak perlu berkecil hati. Kinerja PSM tidaklah buruk amat. Belum sesuai harapan banyak fans adalah fakta. Tetapi ingat, musim sebelumnya PSM malah terpuruk sampai di urutan sebelas. 

PSM kembali membuktikan sejarahnya. Melanjutkan tradisinya sebagai tim yang tak mau mempermalukan fansnya karena jatuh  terdegradasi. Tersingkir dari kasta tertinggi sepakbola nasional, tidaklah.

Sama seperti air laut. Ada pasang dan waktu surut. Ingat, sebelum PSM mengangkat Piala Liga 1 tahun 2023, kondisinya malah memprihatinkan. Nyaris degradasi.

Tetapi pinisi harus tetap berlayar. Mengangkut harapan besar dan ekpektasi tinggi dari fans-nya. Ketika harapan penumpang bersatu kompak dengan seluruh awak kapal, maka pinisi ini mampu menaklukkan samudera yang bercuaca kurang bersahabat sekalipun. 

PSM mengangkat piala juaranya di Parepare. Bukan di Makassar, tanah kelahirannya. Para fans berpesta. Dari Parepare sampai Makassar. Rindu fans akan juara, terpenuhi. Ditumpahkan di jalan-jalan. Makassar menjadi lautan merah.

Stadion yang dijanjikan tinggal kenangan dan wacana pejabat. Mattoanging, kandang PSM yang angker bagi lawan, telah roboh tinggal cerita. Gemuruh penonton mengiringi setiap gol, sudah senyap. 

Tanpa stadion, PSM seperti pinisi tanpa dermaga. Bermarkas di Parepare saja jauh dari Makassar. Apalagi harus berlabuh di Batakan, Balikpapan, Kaltim. 

Penonton hanya terhitung ratusan. Kontras dengan di Parepare, ribuan jumlahnya. Apalagi dibandingkan Mattoanging setiap kali tim ayam jantan ini bertarung menunjukkan jati diri dan menjaga siri na pacce. Membela harkat dan martabat penggemarnya.

Itu pula salah satu beban berat yang harus dipikul pengurus PSM. Biaya membengkak. Pemasukan dari pertandingan minim.

Harga tiket dinaikkan, penonton protes. Ada yang ngambek. Malah ada provokasi mengosongkan stadion. 

Itu bukan sikap pencinta sejati. Hakikat pencinta (fans) sejati ukurannya keikhlasan. Tulus menerima dan mensupport sepenuhnya kepada yang dicintai. Dalam kondisi apa pun.

Manajemen dan tim PSM hanya butuh dukungan, bukan sanjungan. Dukungan moral saja sudah memadai. Berperilaku tertib dan taat aturan saja di stadion akan sangat membantu.

Penonton menyalakan flare, melepas petasan, melempar ke lapangan, bikin onar, justru menambah beban manajemen yang sudah berat. Apakah perilaku ini sejalan dengan cinta sejati kepada yang dicintai? Tidak.

Banyak yang mengaku pencinta PSM. Banyak yang teriak mau membantu. Bahkan ada yang koar-koar mau menyuntikkan dana. Semua itu hanya lip service kampanye pencari popularitas dan suara.

Faktanya, hingga saat ini tidak ada yang serius. Tak satu pun yang datang ke manajemen menyampaikan niatnya, apalagi menunjukkan uangnya. 

Omong kosong semua. Pilpres, pileg berlalu. Semua mendadak mengidap amnesia. Lupa apa yang pernah diucapkan. Tanpa rasa malu sedikit pun.

Bosowa, Aksa Mahmud, Sadikin Aksa, masih tetap berkomitmen penuh mengucurkan keringat dan "darah dagingnya" untuk PSM. Dengan segala plus-minusnya. Belasan tahun. Baginya PSM adalah harga diri masyarakat Sulawesi Selatan. Wajib hukumnya dijaga. 

Gampang baginya jika tidak ingin lagi membiayai PSM. Sahamnya dijual, selesai. Atau, pindah markas ke Jawa. Biaya operasional, pertandingan kandang (home) maupun tandang (away) lebih ringan.

Tetapi tidak. Mereka tidak mengambil jalan keluar itu. Sejarah, jati diri, roh, spirit dan cinta PSM ada di sini, di Makassar. Itulah yang dijaga Bosowa. 

Apa keuntungan Bosowa menjaga PSM, harga diri masyarakat Sulsel? Tidak ada. Yang didapat malah cacian. Didemo sampai properti Bosowa dirusak. Mengaku mencintai PSM, tetapi merusak properti pemilik PSM. Apakah itu tidak keji, dzalim?

Pinisi PSM harus terus berlayar. Musim kompetisi mendatang, bisa sedikit lebih ringan karena main di Parepare. Biaya operasional pertandingan kandang menurun. Pemasukan bisa meningkat.

Tetapi seperti kata pelatih Bernardo Tavares, urusan finansial PSM masih mengganjal. Mendatangkan pemain bagus musim mendatang membutuhkan biaya besar. Pemain minta gaji tinggi.

Beban finansial PSM musim lalu memang jauh lebih besar karena bermarkas di Batakan. Sama saja away terus. Biaya berlipat kali.

Mungkin PSM akan mengalami kondisi seperti awal dua musim kompetisi lalu. Ditinggal beberapa pemain bagusnya. Begitulah dunia bola. Perputaran pemain cukup tinggi. Klub berlomba merekrut pemain bagus.

Kondisi serba keterbatasan itu justru membawa hikmah terselubung (blessing indisquise) sepanjang musim bagi PSM. Anak-anak muda PSM mendapat kesempatan dan ruang untuk unjuk kemampuan setelah memperkuat tim senior. 

Beberapa di antaranya, bukan hanya menunjukkan performa yang bagus di tim senior. Bahkan dipanggil memperkuat Tim Nasional di kelompok umurnya masing-masing.

Juara memang target dan harapan setiap klub dan para fansnya. Tetapi mengorbitkan pemain muda itu juga tujuan utama pembinaan di klub. Apalagi mampu berkontribusi untuk kepentingan bangsa, tim nasional, di tengah kepungan pemain naturalisasi. Itu juga prestasi membanggakan.

Haram bagi fans dan pemain PSM mengubur impian kembali juara. Sadikin Aksa dan timnya masih full commitment. Coach Tavares dan stafnya masih kita percaya, sebagai nakhoda pinisi PSM yang tangguh. Piawai memoles pemain muda menjadi bersinar.

Nakhoda tidak akan pernah menangis ditinggal awak perahu. Nakhoda pantang meratapi perahu bocor. Satu bintang di langit sekalipun, cukup bagi nakhoda untuk jadi navigasi melayarkan pinisi. Aksa Mahmud dan Bosowanya akan tetap jadi bintang navigasi PSM itu.

Pura babbara sompe'ku, pura tangkisi' golikku, ulebbirengni tellengnge natowalie.