Menyelisik Gema Takbir di Ketinggian 2830 Mdpl Bawakaraeng

Pelaksanaan salat Idul Adha di Puncak Gunung Bawakaraeng, Kamis (29/7/2023) - foto by Ardi Jaho

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Usia tidak menyurutkan semangat orang-orang yang sebentar lagi memasuki setengah abad itu. Bahkan ada yang sudah melebihi setengah abad.

Menapaki jalan terjal dan licin hingga mencapai ketinggian 2830 meter dari permukaan laut (Mdpl) Gunung Bawakaraeng. Kadang beberapa diantara mereka sudah mulai menyeret kakinya karena lelah, namun tetap berjalan. Sebab ada waktu yang mereka kejar sebelum sampai ke puncak Gunung Bawakaraeng.

Dingin mulai menusuk, menembus jaket tebal, membuat bulu kuduk merinding. Tetapi itu bukan penghalang bagi rombongan yang berniat melaksankan salat Idul Adha di puncak Gunung Bawakaraeng

Tradisi ini sudah turun temurun. Ada juga ritual khusus yang mereka lakukan usai salat Idul Adha di sana.

Puncak Gunung Bawakaraeng berada di pos 10. Butuh waktu 10 jam untuk mencapai puncak jika start dari pos 1 yang merupakan kaki gunung.

Ada jalur pintas menuju pos 10. Start di pos 1 dan tembus di pos 6 tanpa melalui pos 2 hingga 5. Waktu tempuhnya kurang lebih 2 jam lamanya. Lumayan memangkas waktu.

Jalur ini merupakan jalur tim SAR yang menjadi alternatif, selain melalui jalur umum di Lembanna.  

Jarak ribuan kilo dengan medan ekstrem, tak menyurutkan semangat orang-orang yang hendak menggemakan takbir di puncak Bawakaraeng itu.

Ada sekitar 50 orang. Menariknya dari jumlah itu ada sekitar 40 orang yang usianya di atas 50 tahun. Sudah ada uban di kepala mereka. Kulit wajahnya pun  jelas menampakkan semburat garis usia senja mereka.

Salah satunya, Nasruddin Daeng Tompo. Pria berusia 54 tahun ini mengaku bukan kali pertama melaksanakan salat Idul Adha di Gunung Bawakaraeng karena sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarganya.

"Dua tahun lalu saya kesini melaksanakan salat Idul Adha dan sekarang Alhamdulillah masih diberi kesehatan untuk hadir lagi beribadah di Puncak Gunung Bawakaraeng," tuturnya, Kepada CELEBESMEDIA.ID, Kamis (29/6/2023).

Ia datang bersama 14 orang keluarganya dari Desa Parigi Gowa. Ia pun mengakui tak mudah mencapai puncak Bawakaraeng.

"Saya lewat Lembanna yang merupakan salah satu jalur menuju puncak Gunung Bawakaraeng, berangkat jam 5 subuh sampai dipuncak pukul 14:00 WITA," ucapnya.

Beberapa dari rombongan tersebut memang memilih bermalam di puncak gunung. Mereka mendirikan tenda. Saat fajar subuh 10 Dzulhijjah mulai nampak, satu per satu dari mereka keluar dari tenda masing-masing.

Ada laki-laki maupun perempuan. Mereka mulai mengisi saf hingga menjadi beberapa baris. Alunan takbir bergema di tengah kabut yang pekat. Sama seperti salat Idul Adha pada umumnya, salat di Puncak Bawakaraeng itu juga dilakukan dengan 2 rakaat. 

Setelah  salat juga ada khutbah Idil Adha. Ditutup doa dari khatib. Para merela berjabat tangan, saling berpelukan antara yang tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Beberapa dari mereka meneteskan air mata sebagai wujud harunya.

Ritual selaniutnya pun mulai berbeda dari yang biasanya dilakukan dalam pelaksanaan Idul Adha.

Beberapa orang mulai memisahkan diri. Mereka meninggkan saf, berjalan menjauh sekitar 100 meter. Mereka mengenakan pakaian serba putih.

Ada beberapa ritual yang dilakukan  rombongan itu seperti mengelilingi Tugu Trangulasi sebanyak satu kali. Selanuutnya berdiri di depan tugu dengan menghadap ke barat sambil membaca doa-doa yang dipanjatkan didalam hati.

Ritual itu dilakukan secara individu pada setiap rombongan. Biasanya hanya dilakukan oleh satu atau dua orang sedangkan yang lainnya hanya berdiri sambil menyaksikan proses ritual tersebut. Saat CELEBESMEDIA.ID, mencoba menanyakan makna dari ritual itu tak ada seorang pun yang ingin menjelaskan lebih rinci. Orang-orang itu hanya mengatakan ritual itu sudah menjadi tradisi turun temurun.

Laporan: Ardi Jaho