KPK: BUMN Hati-Hati Investasi dari China, Rawan Pelanggaran!

Ilustrasi - Kantor KPK di Jakarta - (foto by int)

CELEBESMEDIA.ID, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewanti-wanti badan usaha milik negara (BUMN) saat menerima investasi dari China. Sebab, investasi dari negari tirai bambu itu dinilai kerap tak memenuhi standar lingkungan, hak asasi manusia, dan good corporate governance. 

Dirilis CELEBESMEDIA.ID dari CNBCIndonesia, pesan ini ditekankan oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat jadi pembicara di seminar bersama BUMN di gedung Penunjang KPK, kawasan Kuningan, Jakarta.  "Pasti bapak ibu di BUMN banyak bekerja sama dengan China, saya ulangi lagi, dengan China. Good Corporate Governance di China itu adalah salah satu yang asing bagi mereka. Oleh karena itu mereka menempati tempat yang pertama di fraud improper payment. Mereka investasi banyak di sini," ujar Syarif, Kamis (9/5/2019).

Tidak seperti negara maju lainnya, misal dari Eropa atau Amerika yang memiliki pengawasan ketat dari pemberi investasi. China lebih leluasa dalam hal tersebut, sehingga BUMN harus berhati-hati. "Safe guard mereka tidak seketat perusahaan Eropa atau Amerika Serikat. Oleh karena itu tidak salah ketika kami, PLN itu dari mana mereka? Dari China, saya coba kasih contoh saja, ini memang statistik tapi ada benarnya. Laporan ke kami semakin banyak, saya makin percaya," lanjutnya. 

Agar investasi bisa diawasi, tak hanya untuk di BUMN, KPK pun kini mencoba meyakinkan Mahkamah Agung membuat aturan pidana korporasi. Ini didorong dari pengalaman di Hong Kong di mana 70% kasus korupsi justru terjadi di sektor privat dan BUMN. Bukan cuma Hong Kong, Singapura dan Selandia Baru juga kini trennya tidak menyecar pejabat publik tetapi lebih ke sektor swasta dan BUMN. 

Dia mengatakan dulu KPK tidak menyentuh sektor swasta. Namun, karena melihat banyak kasus dugaan korupsi yang melibatkan swasta, maka KPK mendorong agar korporasi juga bisa dijerat. "Dulu saya suka bantu KPK proyek pencegahan korupsi di luar. Nggak pernah kerja sama dengan private sector. Karena apa? Takut terkontaminasi lah, tapi kita sadar, kita lihat. Dari jumlah pelaku korupsi, yang paling banyak setelah anggota DPR, paling banyak itu adalah private sector. Nomor dua tertinggi, terus apa cukup kalau kita hanya hukum orangnya? Perusahaannya juga," kata Syarif.