Apa Itu Musafir dalam Islam, Syarat dan Contohnya

Musafir dalam Islam, Syarat dan Contohnya (foto: freepik.com/author/wirestock)

CELEBESMEDIA.ID, Makassar - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musafir diartikan sebagai seseorang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk melakukan perjalanan selama minimal tiga hari.

Namun, dalam konteks ini, musafir tidak hanya merujuk kepada orang yang sekadar berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Lebih spesifiknya, mari kita lihat pengertian musafir dalam Islam, termasuk syarat-syaratnya dan tujuannya.

Kata "musafir" berasal dari bahasa Arab "safara" atau "safar" yang berarti melakukan perjalanan.

Dalam bahasa Arab, musafir mengacu pada seseorang yang sedang melakukan perjalanan.

Menurut para fuqaha (ahli fiqih), musafir dalam Islam adalah seseorang yang meninggalkan tempat tinggalnya menuju suatu tempat dengan jarak tertentu.

Syarat Musafir Menurut pandangan ulama, terdapat tiga syarat utama yang terkait dengan istilah musafir dalam Islam. Syarat-syarat tersebut mencakup:

1. Keluar dari Tempat Tinggal

Syarat pertama adalah meninggalkan tempat tinggal atau daerah asal secara fisik.

Seseorang tidak dapat disebut musafir jika dia masih berada di tempat tinggalnya.

2. Memiliki Tujuan Tertentu

Perjalanan yang dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, bukan sekadar perjalanan tanpa arah atau tujuan yang pasti.

3. Menempuh Jarak Tertentu

Untuk dikategorikan sebagai musafir, perjalanan yang dilakukan harus memiliki jarak minimal tertentu dari tempat tinggal menuju tempat tujuan.

Tidak semua perjalanan dengan jarak tertentu memenuhi syarat untuk melakukan qasar sholat.

Seberapa jauh sebuah perjalanan dianggap musafir?

Umumnya, perjalanan dengan jarak sekitar 80 km atau lebih dianggap sebagai perjalanan musafir.

Selama perjalanan tersebut, seseorang tidak berencana untuk tinggal lebih dari 3 hari di suatu tempat.

Contoh Jenis Perjalanan dan Tujuan Musafir

Ada beberapa jenis perjalanan musafir dengan tujuan yang berbeda:

1. Mubah (Perjalanan yang Diperbolehkan)

Ini mencakup perjalanan untuk bekerja atau berdagang. Orang tersebut melakukan perjalanan dengan niat mencari nafkah dan memberikan sedekah.

Dalam pandangan beberapa ulama, tidak semua jenis perjalanan memungkinkan untuk qasar sholat atau jamak'.

2. Mahmud (Perjalanan yang Terpuji)

Contohnya adalah perjalanan haji, umrah, dan jihad. Orang-orang melakukan perjalanan ini untuk melaksanakan ibadah atau tujuan sunnah seperti menziarahi ulama.

Namun, tidak semua jenis perjalanan memungkinkan untuk qasar sholat atau jamak'.

3. Madzmum (Perjalanan yang Dicela)

Termasuk dalam kategori ini adalah perjalanan yang melibatkan maksiat atau perbuatan tercela.

Ini termasuk perjalanan yang haram atau makruh, seperti pelarian budak atau meninggalkan daerah yang terjangkit penyakit menular.

Pendapat mazhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa kemungkinan qasar sholat bagi musafir didasarkan pada dalil umum tanpa menyebutkan syarat-syarat tertentu, seperti tidak boleh melakukan perjalanan untuk melakukan maksiat.***