KOLOM ANDI SURUJI: Sulsel dan Coronomics (3)

. Selasa, 23 Juni 2020 22:28

SIANG itu cuaca di luar ruangan panas terik membuat gerah. Di ruang kerjanya, Saharan, Direktur BPRS Dana Moneter Syariah, sibuk bicara di telepon. Sesekali ia mengirim atau membalas pesan yang masuk melalui whatsapp-nya.

Terdengar ia menanyakan kondisi bisnis nasabahnya. Selebihnya ia lebih banyak diam, mendengarkan cerita nasabahnya. Maklum pandemi Covid-19 merontokkan banyak usaha. Menyapa nasabah, sekadar say hallo, tentu merupakan salah satu perhatian bankir yang dapat mengobati pikiran dan perasaan nasabah yang gundah gulana.

Bahkan bisa menjadi ajang bersama untuk mencari solusi yang diperlukan dalam menghadapi kondisi bisnis.

Pada ruangan lain, stafnya sibuk menjawab nasabah, terutama yang mengontak untuk menanyakan prosedur restrukturisasi kredit. Waktu itu, Otoritas Jasa Keuangan baru saja mengeluarkan aturan mengenai restrtukturisasi kredit bagi nasabah yang terdampak Covid-19.

Si corona memang membuat dunia usaha seolah terhenti berdenyut. Kalaupun masih ada yang berdenyut, detaknya lemah. Banyak pengusaha kelimpungan karena tidak pernah memasukkan faktor pandemi Covid-19 dalam kalkulasi bisnis 2020, saat menyusun perencanaan bisnis.

Ketika virus corona menyebar begitu cepat, dan menyerang manusia, dunia seolah kiamat kecil. Seluruh dunia terinfeksi.

Dengan adanya aturan restrukturisasi dari OJK, tentu saja bank-bank dan nasabah tak membuang waktu untuk memanfaatkannya. Supaya keduanya selamat. Nasabah masih bisa membayar cicilan, buku bank pun tidak merah menyala.

Dampak Covid-19 terhadap dunia usaha memang dahsyat. Salah satu indikasinya, yakni banyaknya nasabah yang meminta restrukturisasi kredit. Maklum, bisnis lumpuh, pendapatan seret, sementara cicilan pokok dan bunga kredit harus jalan terus.

Belum biaya lain yang tidak dapat ditangguhkan. Tanpa restruktrurisasi dunia usaha dan perbankan terancam kredit bermasalah.

Menurut OJK, secara nasional pada awal Mei saja, 74 bank konvensional dan syariah yang telah menyelesaikan restrukturisasi. Bayangkan, ada satu juta lebih nasabah yang direstrukturisasi.

Nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai angka Rp 207 triliun lebih. Hampir separuhnya merupakan kredit UMKM, yakni senilai Rp 99,36 triliun. Dari 1,02 juta nasabah restrukturisasi, sekitar 80 persen di antaranya adalah nasabah UMKM.

Belum industri di luar perbankan, yakni Industri Keuangan Non Bank. Masih menurut OJK pada bulan lalu, sebanyak 183 perusahaan pembiayaan telah menyelesaikan restrukturisasi. Terdapat 735.111 kontrak pembiayaan disetujui direstrukturisasi senilai Rp 28,13 triliun. Itu pun masih ada 508 ribu kontrak pembiayasan yang masih dalam proses restrukturisasi.

Pada skala Sulawesi Selatan, outstanding kredit perbankan yang direstrukturisasi mencapai Rp 9,16 triliun dari 79.290 debitor restrukturisasi. Angka-angka itu baru mencakup dunia usaha formal. Artinya, usaha masyarakat yang telah memiliki akses ke sumber pembiayaan dari perbankan sehingga terdeteksi dalam radar perbankan dan OJK.

Adapun fasilitas pembiayaan yang direstrurisasi oleh perusahaan pembiayaan mencapai Rp 1,28 triliun dengan jumlah nasabah sekitar 60 ribu debitor. Kreditnya (fasilitas pembiayaannya) jauh lebih kecil dari kredit bank, tetapi jumlah nasabahnya tidak terpaut jauh dengan nasabah perbankan. Artinya, nasabahnya banyak tetapi kreditnya kecil-kecil.

Kendati pinjaman nasabah di sektor usaha pembiayaan itu kecil, tetapi dengan nasabah yang begitu banyak, maka problem yang dihadapi tidaklah mudah mengurainya. Misalnya, pembiayaan motor kepada individu pembeli motor untuk mencari nafkah sehari-hari sebagai tukang ojek (Go-Jek).

Begitu Covid-19 menjadi pandemi, berlaku berbagai pembatasan sosial, otomatis sumber penghasilan mereka mengkerut. Selain karena mereka sendiri membatasi diri untuk bekerja di luar, penumpang atau pemakai jasa go-jek pun menurun akibat pembatasan aktivitas sosial.

Demikian juga yang terjadi pada usaha-usaha informal, semisal warung kebutuhan sehari-hari, usaha-usaha makanan dan minuman pinggir jalan, sampai bikin kue di rumah, lalu ditawarkan secara online menggunakan jasa aplikasi Instagram, Facebook, atau bahkan penawaran langsung melalui whatsapp. Semua itu juga terkena dampak negatif Covid-19.

Mereka itulah kelompok rentan sosial. Menganggur sampai tidak berpenghasilan. Dan yang pasti, jika sebelumnya mereka masih tergolong hampir miskin (near poor), dengan adanya Covid-19, pembatasan sosial dengan segala rupa implikasinya, seketika mereka jatuh miskin.

Kepada siapa mereka mengangungkan harapan? Tentu pemerintah. Bagaimana program pemulihan ekonomi rakyat benar-benar tepat sasaran sehingga mampu menggerakkan kembali roda-roda bisnis informal tersebut. Tentu saja bantuan sosial, tetap diharapkan. Itu juga harus tepat sasaran.